Tidak hanya itu, pendidikan inklusif juga menjadi
sarana yang sangat efektif dalam penanaman pendidikan karakter.
“Bercampurnya anak dengan berbagai latar belakang pendidikan, ekonomi,
sosial, budaya, dan karakteristik dalam lingkungan sekolah inklusif,
akan menumbuhkan semangat untuk peduli, kerja sama, menghargai perbedaan
dan saling menghormati,” ungkap Direktur Jenderal Pendidikan Dasar,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Hamid Muhammad, di
Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Jumat (19/9/2014).
Bahkan, katanya, melalui pendidikan inklusif, para
guru dan kepala sekolah akan senantiasa kreatif dan berinovasi tinggi
untuk bisa melayani dan menyelenggarakan pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik yang beragam tersebut. Namun, walaupun akses dan
kesempatan untuk memperoleh hak pendidikan bagi ABK ini menunjukkan
peningkatan yang sangat baik, tetapi angka partisipasi murni (APM) untuk
jenis pendidikan ini masih rendah, hanya sekitar 34 persen. “Ini
memerlukan upaya kita semua, bagaimana caranya agar semua ABK
mendapatkan hak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu dan setara,”
ujar Hamid.
Pencanangan Sultra sebagai provinsi pendidikan
inklusif disambut baik oleh Kemdikbud. Sultra menjadi provinsi ke-7 yang
mendeklarasikan diri sebagai daerah yang ramah bagi peserta didik
penyandang disabilitas. Sebelumnya telah ada Kalimantan Selatan, Aceh,
Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat. “Saya
melihat program ini mampu menjangkau simpul-simpul ABK yang sulit
dijangkau dengan layanan pendidikan regular. Deklarasi yang dilakukan
Sultra menjadi bukti bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur provinsi ini
adalah pelopor pendidikan inklusif di Indonesia,” tambahnya.
Hamid menuturkan, pendidikan inklusif tidak semata
dilakukan oleh pemerintah daerah, tetapi saat ini sudah merambah ke
dunia perguruan tinggi. Universitas Brawijaya, Institut Teknologi
Bandung, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) adalah contoh perguruan
tinggi yang memberikan tempat bagi ABK untuk menempuh pendidikan ke
jenjang pendidikan tinggi. “Universitas Brawijaya sudah tiga tahun ini
berani mengambil keputusan besar dengan menerima ABK menjadi
mahasiswanya dengan sistem seleksi khusus,” tutur Hamid.
Ia menambahkan, tahun ini universitas yang
berlokasi di Kota Malang, Jawa Timur itu menerima 23 ABK. Tidak hanya
menyediakan kursi bagi ABK, Universitas Brawijaya dan Unesa menyediakan
relawan pendamping khusus yang direkrut dari mahasiswa regular. Dengan
pendekatan ini, prestasi akademik mahasiswa berkebutuhan khusus mampu
bersaing dengan mahasiswa lainnya. “Saya ingin katakan kepada ABK
se-Indonesia, belajarlah dengan tekun dan gapai mimpi-mimpi kalian untuk
bisa belajar hingga ke jenjang tertinggi di perguruan tinggi,”
ucapnya.
Hamid menyadari, program pendidikan inklusif bukan
berarti berjalan tanpa tantangan. Masih ada sejumlah kendala yang harus
dihadapi, antara lain masalah minimnya sarana dan prasarana yang tepat
untuk ABK, keterbatasan jumlah dan kompetensi guru regular yang melayani
peserta didik ini. “Permasalahan ini tidak bisa ditangani secara
parsial, tetapi harus ada dukungan dari semua pihak, mulai dari pusat,
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, serta satuan pendidikan di level
paling bawah. Untuk itu saya mengajak untuk bersama-sama mewujudkan
pendidikan yang berkualitas bagi seluruh anak bangsa,” katanya. (Ratih Anbarini)
Sumber : Kemdiknas